GEMBELGAUL.COM, JAKARTA - Di antara gemerlap layar perak dan
riuh tepuk tangan para insan perfilman dunia, Indonesia kembali menorehkan
kehadirannya yang penuh makna di ajang bergengsi Cannes Film Festival 2025.
Bukan sekadar datang, tetapi tampil dengan semangat baru,
membawa cerita, wajah, dan suara dari negeri sendiri untuk disampaikan kepada
dunia.
Melalui Paviliun Indonesia di Marche du Film, pasar film
terbesar dunia yang menjadi bagian dari festival, Indonesia menegaskan
posisinya sebagai negara dengan industri kreatif yang tumbuh pesat dan penuh
potensi.
Dari produser hingga animator, dari sineas muda hingga aktor
legendaris, semuanya bersatu dalam satu misi: menjadikan sinema sebagai
jembatan budaya dan kekuatan diplomasi yang membanggakan.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam taklimat media di Jakarta
menyampaikan apresiasinya atas keikutsertaan ini, menyebut bahwa kehadiran
Indonesia di Cannes adalah bentuk nyata dari semangat kolektif membangun jati
diri bangsa melalui film.
Ia mengingatkan bahwa perfilman Indonesia kini bukan hanya
mendapat tempat di dalam negeri—dengan pencapaian 81 juta penonton tahun
lalu—tetapi juga semakin percaya diri berbicara di panggung dunia.
Tahun ini, Indonesia hadir bukan hanya dengan satu atau dua
film, tetapi dengan beragam proyek lintas genre dan medium. Aktor laga Iko
Uwais tampil sebagai produser melalui film Ikatan Darah, yang mengangkat
kekayaan budaya silat.
Film animasi Jumbo, yang telah disaksikan lebih dari delapan
juta orang di tanah air, juga turut hadir untuk memperluas jangkauan
distribusinya ke mancanegara.
Tak hanya itu, tiga komik lokal—Bandits of Batavia, Locust,
dan Jitu—dipromosikan untuk dialihwahanakan menjadi film, menandai kebangkitan
intellectual property Indonesia di mata dunia.
Nama-nama besar dalam perfilman tanah air turut memberi
warna. Reza Rahadian, yang selama ini dikenal sebagai aktor, kini hadir di
Cannes sebagai sutradara debut melalui film Pangku.
Di saat yang sama, sutradara Edwin bersama Palari Films
memperkenalkan karya terbaru mereka, Monster Pabrik Rambut (judul
internasional: Sleep No More), sebuah proyek ko-produksi yang melibatkan
Indonesia, Singapura, Jepang, dan Jerman.
Salah satu momen istimewa adalah kembalinya Christine Hakim
ke Cannes. Setelah film legendaris Tjoet Nja’ Dhien diputar di festival ini
pada 1989, kini ia hadir sebagai produser untuk film The Mourning Journey karya
Garin Nugroho yang dibintangi Reza Rahadian.
Kehadiran Christine seperti benang merah yang menyambungkan
generasi lama dan baru dalam perfilman Indonesia, menunjukkan bahwa estafet
sinema Indonesia terus berjalan.
Di balik nama-nama besar itu, wajah-wajah muda turut
mengambil peran penting. Razka Robby Ertanto, yang telah memproduksi sejumlah
film, terpilih untuk mengikuti program Producers Network dan memperkenalkan
proyek tentang Rose Pandanwangi, penyanyi legendaris sekaligus istri pelukis S.
Sudjojono.
Produser Yulia Evina Bhara, yang tahun lalu hadir sebagai
peserta, tahun ini didapuk menjadi juri untuk Critics Week bersama nama-nama
besar seperti Daniel Kaluuya dan Rodrigo Sorogoyen.
Film yang ia produseri, Renoir karya sutradara Jepang Chie
Hayakawa, bahkan lolos ke kompetisi utama Cannes tahun ini, menjadikannya
sebagai representasi kuat dari kerja sama Asia yang melibatkan lima negara termasuk
Indonesia.
Semua ini menunjukkan bahwa sinema Indonesia tidak lagi
berjalan sendiri. Ia tumbuh, bergerak, dan membuka diri terhadap kolaborasi
global.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kebudayaan, memberikan
dukungan nyata agar para pelaku industri dapat mewakili Indonesia secara
profesional dan berkelas.
Dalam penutupannya, Menteri Fadli Zon menyebut bahwa
kehadiran ini adalah bagian dari amanat konstitusi, di mana negara memajukan
kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia.
Melalui layar perak, Indonesia menyampaikan pesan: kami ada,
kami siap, dan kami bangga membawa cerita-cerita dari tanah air untuk dunia.ggc
Komentar
Posting Komentar