GEMBELGAUL.COM, JAKARTA - Malam turun dengan pelan, menyelimuti sebuah
rumah besar di pinggiran kota yang seakan menyimpan napasnya sendiri. Dari
luar, bangunannya tampak tenang, bahkan indah, seperti lukisan yang tak terusik
waktu.
Namun di balik dindingnya, ada sesuatu yang berdenyut dengan
ritme rahasia yang memanggil orang-orang tertentu untuk masuk, lalu menutup
pintu rapat-rapat.
Di sinilah Labinak: Mereka Ada di Sini memulai ceritanya,
bukan dengan teriakan tiba-tiba, tetapi dengan bisikan yang merambat ke
telinga, membuat kita bertanya: sampai sejauh mana manusia bisa pergi demi
mempertahankan hidupnya?
Film horor ini mengajak penonton menyusuri lorong-lorong
gelap yang berliku, di mana rasa lapar bukan sekadar nafsu, tapi kepercayaan,
dan daging manusia menjadi janji keabadian.
Di tengah kisah ini, Najwa diperankan Raihaanun dan hadir
sebagai sosok yang sangat manusiawi. Ia seorang guru honorer yang hidup
pas-pasan di kampung bersama anaknya, Yanti.
Hidup mereka sederhana, bahkan serba kekurangan, sampai
sebuah tawaran datang seperti sinar di ujung lorong gelap.
Diana, tokoh dari Yayasan Payung Emas yang diperankan Jenny
Zhang, membawa janji masa depan yang lebih cerah: pekerjaan tetap untuk Najwa
dan sekolah berkualitas untuk Yanti.
Tawaran itu terlalu manis untuk ditolak, dan seperti banyak
hal yang tampak sempurna, ia menyembunyikan rahasia yang menunggu untuk
ditemukan.
Peralihan dari desa ke kota membawa perubahan besar. Rumah
baru mereka luas dan bersih, sekolah megah menyambut Yanti, namun
bayangan-bayangan asing mulai menguntit.
Najwa melihat sosok pucat di sudut kelas, mendengar langkah
kaki di lorong tengah malam, dan mencium aroma anyir yang tak pernah hilang
dari dapur yayasan.
Penonton ikut terseret dalam spiral kecurigaan yang makin
menebal, hingga kebenaran akhirnya terkuak: Lucius, pemilik yayasan yang
diperankan Arifin Putra, adalah bagian dari sekte Bhairawa, sebuah pemuja
keabadian yang percaya bahwa daging manusia adalah kunci hidup tanpa akhir.
Najwa dan anaknya hanyalah persembahan berikutnya.
Sutradara Azhar Kinoi Lubis tidak bermain aman. Ia
menghadirkan potret horor yang jarang disentuh film Indonesia kanibalisme yang
digarap dengan detail mengganggu, namun tetap berpijak pada akar lokal.
Ada hantu pocong “malu” yang melangkah pelan sambil
menunduk, potongan tubuh yang ditata layaknya hidangan pesta, dan tubuh yang
diikat kain setelah dimutilasi.
Koreografi tubuh berpadu dengan lantunan mantra dalam adegan
ritual, menciptakan atmosfer sakral sekaligus mencekam.
Bagi produser Dilip Chugani, Labinak bukan hanya hiburan
horor, melainkan percakapan tentang kekuasaan.
Kanibalisme di sini tak hanya literal, tapi juga metafora tentang bagaimana kaum berkuasa melahap kehidupan mereka yang lemah serta menguras habis tenaga, masa depan, bahkan tubuh mereka demi mempertahankan status quo.
Raihaanun menghidupkan Najwa dengan lapisan emosi yang
kompleks. Ia bukan sekadar korban pasif, tetapi sosok ibu yang berjuang
mati-matian, meski harus menembus teror yang tak bisa dijelaskan dengan rumus
fisika yang ia ajarkan.
Najwa menyimpan masa lalu kelam yang ingin ia kubur, namun
demi anaknya, ia berani membuka pintu rumah baru tanpa tahu bahwa pintu itu
juga menuju neraka.
Labinak: Mereka Ada di Sini mengajak penonton untuk menatap
horor bukan hanya sebagai suguhan jumpscare atau adegan berdarah, tetapi juga
sebagai cermin yang memantulkan sisi paling kelam manusia.
Di balik darah, jeritan, dan daging yang dihidangkan,
terselip refleksi pahit tentang kesenjangan, keserakahan, dan pengorbanan yang
sering kali menjadi santapan bagi mereka yang berkuasa.
Mulai 21 Agustus 2025, film ini akan menunggu di bioskop,
siap menelan siapa saja yang berani menatapnya terlalu lama.fey
Posting Komentar